Legenda Rawa Pening – Jawa Tengah
Medusatoto Di sebuah desa di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah, hiduplah seorang lelaki bernama Baru Klinthing. Ia bukan manusia biasa, melainkan anak dari Nyai Salokantara dan seorang makhluk gaib bernama Ki Hajar Salokantara. Sejak lahir, Baru Klinthing memiliki wujud yang berbeda dari anak-anak lain. Tubuhnya menyerupai naga, dengan sisik berkilauan dan mata tajam. Karena wujudnya itulah, ia tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya. Ia sering merasa kesepian, namun dalam dirinya tumbuh tekad untuk membuktikan bahwa meski berbeda, ia memiliki hati yang tulus dan keberanian besar.
Baru Klinthing tumbuh dengan ajaran ibunya agar selalu berbuat baik kepada siapa pun. Namun, ia juga menyimpan rasa ingin tahu tentang dunia manusia yang sering memandangnya dengan curiga. Suatu ketika, ia memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyiannya dan berkelana ke sebuah desa bernama Pathok. Desa itu dikenal makmur, namun penduduknya terkenal angkuh dan sering meremehkan orang asing.
Sesampainya di desa itu, Baru Klinthing menyamar menjadi seorang anak kecil kurus dan lusuh. Ia mengetuk pintu demi pintu, meminta sedikit makanan untuk mengganjal perutnya yang lapar. Namun, tak seorang pun penduduk desa yang mau menolong. Mereka menutup pintu dengan kasar, bahkan ada yang mengusirnya sambil menertawakan penampilannya. Hati Baru Klinthing perih, bukan karena lapar, melainkan karena merasa ditolak hanya karena wujudnya.
Di tengah kekecewaannya, ia tiba di sebuah gubuk sederhana di pinggir desa. Gubuk itu milik seorang janda tua miskin yang hidup serba kekurangan. Meski hidup susah, sang nenek menyambut Baru Klinthing dengan hangat. Ia memberikan sisa nasi jagung yang ada di dapurnya tanpa ragu sedikit pun. Baru Klinthing terharu menerima kebaikan itu, dan di dalam hatinya ia berjanji tidak akan melupakan kemurahan hati sang nenek.
Setelah perutnya terisi, Baru Klinthing kembali ke tengah desa. Ia ingin menguji penduduk yang tadi mengusirnya. Ia menancapkan sebuah lidi di tanah dan berkata, “Jika lidi ini bisa dicabut, maka akan keluar sesuatu yang akan menimpa desa ini.” Penduduk desa menertawakan anak kecil itu. Mereka berebut mencabut lidi yang tampak kecil dan remeh. Namun tak satu pun yang berhasil. Hingga akhirnya, dengan kekuatannya, Baru Klinthing sendiri yang mencabut lidi tersebut.
Saat lidi itu terangkat, keluarlah air deras dari tanah. Awalnya hanya berupa genangan kecil, tetapi semakin lama semakin deras hingga berubah menjadi aliran yang menenggelamkan desa. Penduduk desa panik dan berlari menyelamatkan diri. Mereka berteriak minta tolong, namun tak ada yang bisa menahan air yang terus meluap. Hanya satu orang yang selamat, yaitu nenek tua yang telah menolong Baru Klinthing. Ia sudah diperingatkan sebelumnya untuk naik ke sebuah lesung besar yang akhirnya membawanya mengapung selamat di atas air.
Air yang meluap itu akhirnya membentuk sebuah danau besar yang kini dikenal sebagai Rawa Pening, yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Legenda ini menjadi penjelasan rakyat tentang asal-usul terbentuknya rawa tersebut. Baru Klinthing sendiri kemudian kembali ke wujud aslinya sebagai naga raksasa dan dipercaya menjaga rawa itu hingga kini.
Kisah Baru Klinthing menjadi pengingat bagi masyarakat Jawa Tengah tentang pentingnya sikap rendah hati, kebaikan hati, dan tidak meremehkan orang lain hanya karena penampilan atau keadaan. Penduduk desa yang angkuh akhirnya binasa oleh keserakahan dan kesombongan mereka sendiri, sedangkan sang nenek yang tulus dan sederhana justru mendapatkan keselamatan.