Legenda Putri Karang Melenu – Kalimantan Timur
Di tanah Kalimantan Timur, masyarakat Dayak hidup berdampingan dengan hutan rimba, sungai deras, dan gunung yang penuh rahasia. Di antara cerita yang diwariskan turun-temurun, ada legenda tentang asal-usul Danau Melintang, sebuah danau luas yang dipercaya terbentuk karena kutukan akibat keserakahan manusia.
Dahulu kala Gempatoto , di sebuah kampung yang terletak di tepi hutan rimbun, hiduplah seorang kepala suku bernama Lajau. Ia terkenal sebagai pemimpin bijaksana, tetapi di hatinya tersimpan ambisi besar untuk memiliki harta berlimpah. Kampung itu makmur, sawah subur, sungai penuh ikan, dan hutan menyediakan segala kebutuhan. Namun Lajau ingin lebih. Ia menginginkan kekayaan yang tak habis dimakan tujuh turunan.
Suatu malam, ketika bulan purnama menggantung tinggi, seorang orang asing datang dari hutan. Wajahnya pucat, matanya menyala merah, dan pakaiannya lusuh seperti kain kabut. Orang asing itu bukan manusia biasa, melainkan makhluk gaib yang menyamar. Ia mendekati Lajau dan berbisik dengan suara serupa desiran angin, menawarkan sebuah perjanjian. Jika Lajau berani menyerahkan sesuatu yang paling berharga, ia akan mendapat harta yang tak terhingga.
Ambisi menutup hati Lajau. Ia bertanya apa yang harus diberikan. Makhluk gaib itu hanya tersenyum, lalu berkata bahwa yang paling berharga akan diambil pada waktunya. Tanpa berpikir panjang, Lajau menyetujui perjanjian itu. Sejak malam itu, kekayaan datang bertubi-tubi. Emas keluar dari tanah, perhiasan muncul dari dasar sungai, dan hasil panen berlipat ganda. Orang-orang kampung terheran-heran, tetapi mereka ikut menikmati limpahan rezeki.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Beberapa bulan kemudian, anak perempuan Lajau yang cantik bernama Suri mulai sakit tanpa sebab. Tubuhnya lemah, matanya sayu, dan sering mengigau menyebut suara asing yang memanggilnya di malam hari. Tabib kampung berusaha mengobati, tetapi sakitnya semakin parah. Orang tua mulai curiga bahwa semua kemakmuran ini datang dari kekuatan gaib yang meminta balasan.
Pada malam hujan deras, makhluk gaib itu kembali muncul. Kali ini wujudnya menyeramkan: tinggi menjulang, kulitnya gelap seperti arang, dan matanya menyala lebih merah. Ia menagih janji. “Kekayaanmu telah kuberikan. Kini waktunya aku mengambil yang paling berharga.” Dengan tangan panjangnya ia menunjuk Suri.
Lajau panik, berlutut, dan memohon agar makhluk itu mengambil emas, sawah, bahkan nyawanya sendiri, asalkan bukan anaknya. Tetapi perjanjian tidak bisa dibatalkan. Makhluk gaib itu tertawa bergema, lalu melangkah ke rumah tempat Suri berbaring. Orang-orang kampung mencoba menghalangi, tetapi angin kencang bertiup, pohon-pohon tumbang, dan petir menyambar tanpa henti.
Ketika makhluk itu hampir menyentuh Suri, tiba-tiba nenek tua kampung yang terkenal sebagai penjaga adat muncul. Namanya Nini Gantar. Ia membawa sebuah guci kuno berisi air suci dari hulu sungai Mahakam. Dengan doa panjang, ia memercikkan air itu ke arah makhluk gaib. Jeritan keras mengguncang bumi. Makhluk itu mundur, tetapi marah besar. Ia mengutuk kampung tersebut.
“Harta yang kalian nikmati akan tenggelam bersama tanah ini. Air akan menelan semua keserakahan kalian!” teriaknya sebelum lenyap dalam kabut hitam.
Tak lama kemudian, bumi bergetar. Retakan besar muncul di tengah kampung. Air menyembur dari tanah, deras bagaikan sungai pecah. Dalam sekejap, sawah, rumah, dan lumbung hanyut. Orang-orang berlarian, berusaha menyelamatkan diri, tetapi air semakin tinggi. Dalam semalam, seluruh kampung lenyap, hanya tersisa genangan luas yang akhirnya menjadi danau.
Lajau dan keluarganya ikut tenggelam, kecuali Suri yang ditolong oleh Nini Gantar. Mereka berdua berhasil sampai ke daratan tinggi. Namun, meski selamat, Suri tidak pernah lagi berbicara. Tatapannya kosong, seolah jiwanya ikut hanyut bersama kutukan itu.
Seiring waktu, danau itu dinamai Danau Melintang. Orang-orang percaya bahwa pada malam tertentu, suara tangisan gadis masih terdengar dari tengah danau. Beberapa nelayan mengaku pernah melihat bayangan seorang perempuan berdiri di permukaan air, rambutnya terurai, matanya sayu, dan gaunnya berkilau seperti cahaya bulan. Mereka yakin itu arwah Suri yang tidak pernah benar-benar lepas dari perjanjian ayahnya.
Masyarakat Dayak di Kalimantan Timur menjaga cerita ini sebagai peringatan. Mereka percaya keserakahan hanya akan membawa bencana. Setiap kali panen raya, orang-orang membawa sesajen sederhana ke tepi Danau Melintang: nasi, buah-buahan, dan bunga. Bukan untuk menyembah, melainkan sebagai simbol rasa syukur kepada alam, agar kutukan serupa tak terulang kembali.
Legenda ini diwariskan turun-temurun, bukan sekadar kisah mistis, tetapi juga pesan moral. Jangan pernah membuat perjanjian dengan kekuatan gaib demi kekayaan. Jangan biarkan keserakahan menguasai hati, sebab alam selalu punya cara untuk menyeimbangkan segala sesuatu. Dan Danau Melintang berdiri sebagai saksi bisu, airnya tenang di siang hari, tetapi menyimpan rahasia kelam di kedalaman yang tak bisa dijangkau manusia.
Hingga kini, penduduk sekitar masih meyakini bahwa jika seseorang terlalu serakah atau tidak menghormati alam, air danau bisa bergolak tanpa sebab. Riak-riak besar muncul, seolah tangan gaib dari dasar air mencoba menelan manusia, mengingatkan pada kutukan yang dulu menimpa Lajau dan kampungnya.
medusatoto merupakan salah satu bandar togel terpercaya sepanjang masa dan seluruh agency, puluhan ribu member sudah membuktikan nya.