Uncategorized

Legenda Jawa Timur – Asal Usul Gunung Bromo

Di Gempatoto sebuah desa yang terletak di kaki gunung, hidup sepasang suami istri bernama Roro Anteng dan Joko Seger. Mereka menikah lama sekali, tetapi tidak kunjung dikaruniai anak. Doa mereka panjatkan siang dan malam, namun hasilnya tetap nihil. Akhirnya, mereka naik ke puncak gunung dan bersemedi, memohon kepada Sang Hyang Widhi agar diberi keturunan.

Doa mereka dikabulkan, tetapi dengan satu syarat yang berat. Suara gaib berkata: jika kelak anak-anak mereka sudah dewasa, maka anak bungsu harus dipersembahkan kembali kepada gunung sebagai tanda terima kasih. Roro Anteng dan Joko Seger yang terharu langsung mengiyakan, tanpa menyadari beban janji itu.

Setelah sekian tahun, mereka memiliki 25 anak. Keluarga besar itu hidup bahagia, tetapi ketika si bungsu, Raden Kusuma, beranjak dewasa, suara gaib kembali menagih janji. Roro Anteng dan Joko Seger menolak. Bagaimana mungkin mereka mengorbankan anak kandungnya sendiri? Namun gunung berguncang hebat, langit berubah gelap, petir menyambar. Raden Kusuma, sang bungsu, sadar akan perjanjian orang tuanya. Dengan ikhlas, ia maju ke tepi kawah dan melemparkan dirinya.

Suara gaib pun reda, gunung kembali tenang. Roro Anteng dan Joko Seger menangis pilu. Dari hari itulah, masyarakat Tengger meyakini bahwa kawah Gunung Bromo adalah tempat pengorbanan Raden Kusuma. Setiap tahun, mereka mengadakan upacara Yadnya Kasada dengan melempar sesaji ke kawah, sebagai tanda penghormatan atas pengorbanan itu.

Legenda ini tidak hanya menjadi kisah duka, melainkan juga pelajaran tentang janji dan pengorbanan. Gunung Bromo kini bukan hanya destinasi wisata, tetapi juga pusat spiritual masyarakat Tengger yang menjaga tradisi leluhur dengan teguh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *