Rekomendasi itinerary 3 hari di Sumatera Barat Menyusuri Alam, Rasa, dan Budaya Minangkabau
Hari 1 – Menyapa Kota Padang, Kota Tepian Samudra
Begitu pesawat mendarat di Bandara Internasional Minangkabau, hawa lembap laut langsung menyapa. Langit biru, awan putih menggantung di atas Gunung Padang yang gagah. Kota ini terasa hidup—riuh tapi bersahabat, dengan pepohonan kelapa di tepi jalan dan senyum hangat warga yang menyambut.
Kamu memulai hari di Pantai Padang, tempat favorit warga lokal bersantai sore-sore. Suara ombak bersahutan dengan tawa anak-anak yang berlari di pasir hitam. Di tepi pantai, pedagang menjual kelapa muda dingin, pisang kapik, dan karupuak kuah yang menggoda dengan aroma pedas asam khas Minang.
Dari pantai, kamu lanjut ke Jembatan Siti Nurbaya, yang membentang di atas Sungai Batang Arau. Di sini, legenda cinta tragis antara Siti Nurbaya dan Syamsul Bahri terasa hidup kembali. Saat matahari turun, lampu jembatan menyala, memantulkan warna keemasan di air sungai.
Malamnya, kamu menikmati makan malam pertama di Rumah Makan Lamun Ombak, salah satu rumah makan Minang paling terkenal. Nasi hangat dihidangkan bersama rendang, dendeng balado, gulai tunjang, dan sambal ijo yang menampar lidah. Rasanya? Pedas, kaya rempah, dan sulit dilupakan.
Kamu bermalam di Padang, di hotel yang menghadap laut. Angin malam membawa aroma garam dan suara ombak lembut yang menemani tidurmu.
Hari 2 – Bukittinggi: Kota Sejuk di Atas Awan
Pagi hari, kamu meninggalkan Padang menuju Bukittinggi. Perjalanan memakan waktu sekitar dua setengah jam, tapi jalanannya indah — berliku melewati perbukitan, sawah hijau, dan jurang dalam yang diselimuti kabut.
Setibanya di Bukittinggi, udara terasa sejuk dan bersih. Kota ini berdiri di dataran tinggi, diapit dua gunung: Gunung Marapi dan Gunung Singgalang. Tempat pertama yang kamu datangi adalah Jam Gadang, ikon kota yang menara jamnya bergaya khas Minangkabau. Di sekelilingnya banyak pedagang oleh-oleh dan sate padang asap yang menggoda.
Tak jauh dari situ, kamu berjalan menuju Benteng Fort de Kock, peninggalan Belanda abad ke-19. Dari atas benteng, kamu bisa melihat pemandangan kota dan bukit-bukit yang mengelilinginya.
Siang hari, waktunya ke Ngarai Sianok — lembah dalam dengan tebing hijau menjulang dan sungai kecil berkelok di dasarnya. Pemandangan di sini benar-benar menakjubkan. Kamu bisa berjalan di Janjang Koto Gadang, semacam “Tembok Besar”-nya Sumbar, sambil menikmati udara pegunungan yang sejuk dan wangi rumput basah.
Makan siang di Taruko Café, tempat tersembunyi di tepi ngarai. Kamu duduk di bangku bambu, memandang tebing hijau sambil menyeruput kopi kawa daun — kopi unik khas Minang yang diseduh dengan daun kopi, bukan bijinya. Rasanya lembut, sedikit pahit, tapi bikin tenang.
Sore hari, kamu mampir ke Pasar Atas Bukittinggi. Di sini kamu bisa membeli songket Pandai Sikek, keripik sanjai, atau rendang kemasan untuk oleh-oleh. Malamnya, kamu menginap di penginapan kecil bergaya rumah gadang — atapnya menjulang seperti tanduk kerbau, simbol filosofi Minangkabau: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Hari 3 – Lembah Harau dan Desa Wisata
Pagi hari kamu melanjutkan perjalanan ke Lembah Harau di Payakumbuh, sekitar satu jam dari Bukittinggi. Jalan menuju ke sana terasa seperti masuk ke dunia lain — tebing batu merah menjulang setinggi ratusan meter di kiri-kanan, dihiasi air terjun yang jatuh dari ketinggian. Udara sejuk, bunyi jangkrik dan burung saling bersahutan.
Kamu berhenti di Air Terjun Sarasah Bunta, salah satu yang paling terkenal. Airnya jernih dan dingin sekali, cocok buat cuci muka setelah perjalanan panjang. Di sekitar, banyak anak muda lokal yang piknik sambil main gitar dan bernyanyi lagu Minang.
Menjelang siang, kamu makan di Pawon Lembah Harau, tempat sederhana tapi makanannya luar biasa. Sambal lado hijau, ayam pop, dan sayur daun singkong tumbuk disajikan di atas daun pisang. Sambil makan, kamu mendengar gemuruh lembah yang dalam, seperti suara bumi sendiri bernapas.
Sore hari, perjalanan dilanjutkan ke Desa Wisata Nagari Pariangan, yang disebut sebagai salah satu desa terindah di dunia oleh majalah internasional. Rumah gadangnya masih asli, dikelilingi sawah bertingkat dan aliran sungai kecil yang jernih. Di sini, kamu bisa melihat langsung kehidupan masyarakat Minang yang hangat dan religius. Anak-anak berlarian, ibu-ibu menjemur padi, dan suara adzan magrib menggema dari surau di bukit.
Malamnya, kamu kembali ke Padang. Jalanan menurun perlahan, melewati hutan tropis yang gelap tapi terasa damai. Saat mobil mendekati pantai, kamu menoleh ke belakang—puncak-puncak bukit di Bukittinggi mulai tertelan kabut malam.
Penutup
Medusatoto Sumatera Barat, atau Sumbar, bukan cuma tentang rendang dan rumah gadang. Ia adalah kisah tentang gunung dan laut, adat dan iman, rasa pedas dan dingin kabut yang saling bertemu. Dalam tiga hari kamu akan sadar, di Sumbar setiap langkah adalah cerita, setiap pemandangan adalah puisi.