adat istiadat gorontalo
adat istiadat gorontalo
Gorontalo ( bahasa Gorontalo : Hulontalo ) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Sulawesi . Terletak di Semenanjung Minahasa , Gorontalo sebelumnya merupakan bagian dari provinsi
Sulawesi Utara hingga diresmikan sebagai provinsi tersendiri pada tanggal 5 Desember 2000. Provinsi ini berbatasan dengan provinsi Sulawesi Utara di sebelah timur dan Sulawesi Tengah di sebelah barat,serta berbatasan laut dengan Filipina di Laut Sulawesi di sebelah utara, dan garis pantai di Teluk Tomini di sebelah selatan. Ibu kota provinsi, sekaligus pintu gerbang utama ke provinsi dan kota terpadatnya, adalah Gorontalo (sering juga disebut Hulontalo). Luas wilayahnya sebanding dengan Vanuatu .
Adat istiadat Gorontalo adalah tradisi dan kebudayaan yang diwariskan dari leluhur Gorontalo. Beberapa adat istiadat Gorontalo di antaranya:
1.Momeati
Momeati atau Mome’ati adalah adat istiadat yang berasal dari Provinsi Gorontalo yang masih bertahan hingga sekarang. Momeati harus dilakukan oleh keluarga muslim jika anak mereka telah memasuki
usia wajib untuk dibaiat. Membaiat berarti melaksanakan suatu ikrar, yaitu mengucapkan janji atau ikrar pengakuan atas keesaan Allah dan Rasulullah SAW melalui dua kalimat syahadat.
Dalam hal ini Momeati merupakan upacara kedewasaan dan penyucian diri melalui tradisi Islam. Tujuan dari Momeati adalah untuk membina keluarga, pada khususnya anak perempuan. Harapannya, anak perempuan
mampu menjaga kesucian dirinya dari awal hingga akhirnya menikah. Upacara ini diadakan secara turun temurun dengan menggabungkan beberapa rangkaian upacara adat. Prosesi pelaksanaan Momeati biasanya
digabungkan dengan upacara pernikahan untuk menghemat biaya. Ketika ada pernikahan, pasti akan ada acara Momeati. Upacara ini tidak memandang kasta kaya atau miskin pada masyarakat.
2.Tidi lo bituo
Tarian keris yang menggambarkan hak azasi wanita untuk menuntut keadilan, kebenaran, dan memutuskan sesuatu dengan bijaksana.
Itulah syair lagu berbahasa Gorontalo yang dipadu dengan musik perkusi dan petik yang mengiringi langkah pasti para penari perempuan yang menyelipkan bituo (keris) dalam pinggang mereka.
Syair dan suara musik ini mengiringi setiap gerakan, membingkai gerak dalam hentakan musik. Tidi lo Bituo atau tari keris merupakan salah satu tarian tradisional Gorontalo yang telah dikenal sejak dulu.
Tarian ini berpijak pada pola-pola tradisi Gorontalo. Tidi ini merupakan tarian klasik Gorontalo yang berkembang pada abad ke-17 dan 18 di kalangan istana, yaitu raja-raja dan kaum bangsawan,
yang memiliki kristalisasi artisik yang tinggi dan telah menempuh perjalanan sejarah yang panjang sehingga memiliki nilai tradisional.
3.Mandi Safar
Mandi Safar merupakan satu perayaan dahulu pernah diadakan banyak masyarakat Melayu khususnya di Semenanjung Melayu (dalam negeri-negeri Melaka,
Negeri Sembilan, Sabah dan Sarawak), Kepulauan Riau bahkan sejauh Kalimantan Barat. Temasya ini mendapat namanya dari pengadaan setiba bulan Safar yang kedua dalam kalendar Islam di mana hari Rabu
terakhir bulan ini menjadi tumpuan orang ramai bermandi-manda di pantai laut dengan tujuan kononnya menolak bala meskipun tidak berasas dalam agama Islam sendiri;[3] namun ada juga yang mengambil
peluang ke pantai untuk tujuan lebih sekular seperti berkelah.
4.Hantaran
Pemberian hadiah dari pihak pengantin perempuan kepada pengantin laki-laki setelah sampai di rumah pengantin laki-laki.
Setelah sampai di rumah pengantin laki-laki, dilakukan acara hantaran atau pemberian hadiah dari pihak pengantin perempuan kepada pengantin laki-laki.
Hantaran ini biasanya berupa barang-barang kebutuhan rumah tangga, seperti peralatan masak, perabotan rumah tangga, atau baju-baju adat.
5. Paiya Lo Hungo Lo Poli
Pa’iya lo hungo lo poli merupakan salah satu bentuk sastra lisan dari Gorontalo yang terkait dengan pergaulan antara pemuda dan pemudi. Istilah ini terdiri dari kata “paiya” yang berarti melempar,
“lo” sebagai kata penghubung, dan “poli,” sejenis pohon yang buahnya ringan. Buah poli ini melambangkan dialog yang ringan, di mana kata-kata dilempar tanpa menyakiti perasaan.
Dalam pertunjukan Pa’iya lo hungo lo poli, laki-laki dan perempuan saling melempar rayuan dalam bahasa Gorontalo, sesuai dengan filosofi masyarakat yang menjunjung tinggi sopan santun dalam menyampaikan
pendapat, nasihat, atau kritik. Rayuan ini tidak hanya berisi pantun cinta, tetapi juga pesan luhur seperti kasih sayang, kebahagiaan, keindahan, kegagalan, dan nasihat-nasihat penting.
Pertunjukan ini diiringi oleh alat musik tradisional, seperti petikan gambus dan tepukan marwas, dengan para pelaku mengenakan pakaian sopan. Biasanya dipentaskan di acara keramaian,
seperti sosialisasi keluarga berencana, perayaan musim panen, syukuran, lomba permainan tradisional, dan festival lainnya. Teks Pa’iya lo hungo lo poli disusun dalam tiga bagian: pembukaan, isi, dan
penutup.