upacara adat sulawesi tengah
upacara adat sulawesi tengah
Sulawesi Tengah adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Sulawesi . Ibu kota administratif dan kota terbesarnya terletak di Palu .
Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Gorontalo di sebelah timur, Sulawesi Tenggara , Sulawesi Selatan , dan Sulawesi Barat di sebelah selatan, dan
berbatasan laut dengan Kalimantan Timur di sebelah barat, Maluku Utara di sebelah timur, serta Malaysia dan Filipina di sebelah utara.
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari 38 provinsi, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dan selalu berupaya untuk mempertahankan kekayaan budaya
dan adat istiadat di setiap provinsi, termasuk upacara adat Sulawesi Tengah.
Selama kunjungan kamu ke provinsi ini, kamu dapat menemukan berbagai aktivitas menarik, salah satunya adalah menyaksikan
secara langsung berbagai upacara adat Sulawesi Tengah.
Berikut ini adalah beberapa upacara adat khas Sulawesi Tengah yang dapat kamu ketahui.
1. Malabot Tumpe
Upacara Malabot Tumpe merupakan sebuah ritual syukuran atas hasil panen telur burung maleo yang telah dilakukan oleh masyarakat Banggai,
Sulawesi Tengah,sejak zaman Kerajaan Banggai yang dipimpin oleh Raja Mandapar. Maleo sendiri merupakan burung endemik Sulawesi Tengah
yang umumnya dapat ditemukan di wilayah pantai, khususnya di daerah Bangkiang,
Kecamatan Batui.Rangkaian upacara Malabot Tumpe dimulai dengan kegiatan pengumpulan telur burung maleo oleh perangkat adat.
Setelah telur berhasil terkumpul, perangkat adat akan membawanya ke rumah ketua adat dan melibatkan serangkaian prosesi yang
diiringi dengan doa dan dzikir kepada Tuhan Yang Maha Esa.Upacara Malabot Tumpe secara umum diadakan secara berkala setiap tahunnya,
biasanya pada musim pertama bertelurnya burung maleo yang umumnya terjadi pada bulan September.
Namun,kabarnya, populasi telur burung maleo mengalami penurunan, sehingga menyebabkan jumlah telur yang diupacarakan menjadi semakin terbatas.
2. Nompudu Valaa Mpuse
Nompudu Valaa Mpuse adalah ritual pemotongan tali pusar dari tavuni atau tembuni pada seorang bayi yang baru lahir. Upacara adat Sulawesi Tengah satu ini umumnya dilakukan oleh
Masyarakat Palu dengan bantuan seorang sando mpoana (dukun bersalin). Masyarakat setempat sendiri percaya bahwa tali pusar dan plasenta adalah dua unsur yang harus dipisahkan.
Oleh karena itu, upacara ini dilakukan secara khidmat oleh dukun bersalin agar roh yang tersembunyi tidak mengganggu bayi setelah keduanya dipisahkan.
Upacara ini dimulai dengan menutup kedua telinga bayi menggunakan kepingan uang logam dan memotong tali pusar di atas uang logam
100 perak dengan benji (sembilu dari bambu).Setelah pemotongan, ujung tali pusar yang sebelumnya terhubung dengan bayi
diikat menggunakan bana (benang) atau titinggi nggaluku (serat sabut kelapa merah yang masih muda),
atau kadang-kadang menggunakan lui kuli nusuka (serat kulit kayu balinjau). Selanjutnya, tembuni akan disimpan selama seminggu dalam pot
tanah liat dengan garam dan asam, dibungkus dengan kain kuning. Di atas periuk tersebut ditaruh empat batang bawang merah dan
kunyit sebagai hiasan persembahan dan hiburan kepada para Tembuni agar tidak mengganggu mereka.saudaranya.
Dengan demikian, bayi tidak akan sering menangis atau tersenyum saat tidur karena gangguan dari saudaranya, yaitu tembuni.
3.Upacara Ratompo
rotompo adalah upacara khusus yang di adakan untuk seorang gadis bangsawan setelah mengikuti prosesi macumani dalam suatu
pesta adat antar kampung.upacara ini biasanya melibatkan pengikiran gigi seorang perempuan yang telah memasuki usia dewasa.
Biasanya, upacara ini dilaksanakan pada pagi hari agar seluruh rangkaian prosesi dapat berjalan dengan
hati-hati dan harus diadakan di tempat yang tenang, seperti rumah kosong atau di bawah pohon rindang di tengah hutan.
Pelaksanaan upacara Ratompo melibatkan seorang topetompo(dukun) sebagai pemimpin, dibantu oleh seorang topepalielu.
Selama prosesi, hanya mereka berdua bersama gadis yang diupacarakan yang diizinkan hadir, sedangkan orang lainnya,
termasuk keluarga gadis tersebut, tidak diizinkan menyaksikan atau ikut serta dalam prosesi Ratompo.Sebelum prosesi dimulai,
gadis yang diupacarakan akan mengenakan baju khusus dari kulit kayu yang disebut haili, dan sarung mbesa. Selain itu,
gadis tersebut juga akan diberi makan ketan putih dan telur sebagai simbol kesediaannya untuk menjalani seluruh
tahapan upacara.Setelah prosesi pengikiran gigi selesai, gadis tersebut akan berkumur dengan air hangat dan porama mavau.
Setelah darah yang keluar mulai berkurang, gadis tersebut dipulangkan ke rumahnya dan diserahkan kepada orang tuanya.
4.upacara rakeho
Masih terkait dengan upacara menuju dewasa, Rakeho adalah ritual yang menandai peralihan dari masa remaja ke dewasa,
terutama untuk kaum laki-laki dari Suku Kulawi di SulawesiTengah. Upacara ini memiliki inti dalam membentuk gigi bagian
depan agar sejajar dengan gusi, termasuk gigi atas dan bawah. Selain sebagai pencarian keselamatan, tujuan Rakeho
juga melibatkan pencegahan terhadap hal-hal yang tidak diinginkan yang berkaitan dengan keharmonisan hubungan pernikahan.
Waktu pelaksanaan upacara Rakeho tidak ditentukan oleh batasan waktu, hari, atau bulan tertentu, melainkan disesuaikan dengan
kesiapan orang tua yang menyelenggarakannya. Biasanya, upacara ini diadakan setelah masa panen, karena pada saat itu orang tua
memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan upacara adat ini. Upacara Rakeho umumnya dilaksanakan pada siang hari di lokasi
yang telah disiapkan oleh orang tua,seperti rumah yang dikosongkan di tempat yang agak terpencil dan jauh dari keramaian.
Seperti halnya upacara Ratompo, upacara Rakeho juga melibatkan seorang dukun yang disebut topekeho, yang memiliki pengalaman dan keahlian
dalam mengikir gigi, dan umumnya keahlian ini diwariskan secara turun temurun dari pendahulu topekeho tersebut.
5.baliya jinja
baliya jinja adalah upacara pengobatan ritual yang memiliki sifat non medis dan telah dikenal oleh masyarakat Suku Kaili selama berabad-abad.
Sebelum adanya rumah sakit,masyarakat Kaili bergantung pada upacara ini untuk mendapatkan petunjuk dari roh nenek moyang terkait cara
menyembuhkan penyakit yang sedang dialami oleh seseorang.Meskipun telah berlalu ratusan tahun, upacara ini masih terus dilakukan yang akan
dipimpin oleh seorang dukun atau tetua yang dikenal sebagai Tina Nu Baliya. Dukun ini mengenakan pakaian khusus, termasuk baju ari fuya,
destar (tudung) berwarna merah, dan sarung.Dalam pelaksanaannya, Tina Nu Baliya duduk mengelilingi seorang penderita penyakit yang menjadi
subjek upacara. Tiga orang memiliki tugas untuk meniup seruling, memukul tambur, dan gong. Alunan musik dimainkan dengan lembut guna
menciptakan suasana yang tenang.Syair yang dinyanyikan dalam upacara mengandung puji-pujian kepada Yang Maha Kuasa,
memohon agar segala gangguan setan dan jin dihilangkan, dan kesehatan penderita pulih seperti semula.
Ritual Baliya Jinja memiliki dua jenis prosesi, yaitu sesajian yang dilarung ke laut atau dibuang di gunung.
Dalam sesajian tersebut, terdapat beberapa macam,termasuk adat 9 dan adat 7, yang berkaitan dengan jumlah sesajian yang dikorbankan,
seperti sesaji inang, gambir, tembakau, dan lainnya. Pelaksanaannya memakan waktu berjam-jam.
Setelah selesai, sesajian yang telah disiapkan akan dilarung ke laut keesokan harinya sebagai simbol pembuangan penyakit yang menimpa penderita.